Selasa, 25 Desember 2007

Selamanya Tahun Baru

Selamanya Tahun Baru

Ada rutinitas ritual 365 hari (kadang-kadang 366) sekali pada saat jarum jam mendekati pukul 24.00 di sebagian besar belahan bumi ini. Orang banyak menyebutkannya sebagai tahun baru dan menobatkan tanggal 1 Januari sebagai permulaannya.

Banyak cara untuk merayakan ritual ini. Orang biasa membeli terompet kertas atau plastic untuk kemudian bersiap-siap meniupnya jika jarum jam mendekati pukul 24.00 tanggal 31 Desember tahun lama -yang konon juga berarti pukul 00.00 tanggal 1 Januari tahun baru. Orang sangat beragam dalam cara dan acara perayaannya. Yang berjiwa bisnis memanfaatkan momen ini dengan menjual terompet tersebut. Yang berjiwa bisnis lebih serakah biasanya menggelar acara-acara khusus menyambut tahun baru di hotel, klub malam, atau Cuma sekedar dipertontonkan kepada pemirsa layar kaca. Yang sekedar senang hura-hura cukup buat acara sendiri dengan sesama teman, atau anak dan istri.

Relativitas Tahun Baru

Apa artinya tahun baru? Secara mudah, perayaan tahun baru adalah perayaan habisnya 1 periode tahun yang lalu dan datangnya periode tahun yang setelahnya. Jadi, hari ini bisa tahun baru, besok juga bisa tahun baru, bahkan sebulan yang lalu bisa juga tahun baru. Hal ini disebabkan karena I periode tahun bagi suatau komunitas -entah yang berdasarkan etnis atau kepercayaan tertentu- bisa berbeda dengan komunitas yang lain, baik dalam hal durasi I tahun ataupun kapan mulainya. Dan perbedaan ini sah-sah saja.

Hanya saja, yang beruntung di dunia internasional atau di planet bumi ini adalah Julius Cesar. Kalender buatannyalah yang kita tahu sejak kita sekolah di Taman Kanak-Kanak. Dan perayaan tahun baru yang dirayakan adalah tahun baru untuk penanggalan yang ia buat.

Kalender made ini Julius Cesar merupakan kalender yang dibuat berdasarkan perputaran bumi bumi menggelilingi matahari. Konon kalender ini dihitung sejak hari Kristus lahir. Walaupun Kristus dipercayai oleh umat Nasrani lahir pada tanggal 25 Desember, tapi mereka baru merayakan tahun baru 6 hari setelahnya. Wallahu a'lam, mengapa jadi seperti ini.

Namanya buatan manusia, kalender ini pernah keliru juga. Gara-gara tidak memperhitungkan seperempat hari terakhir dari waktu keliling bumi terhadap matahari, kalender Julius Cesar pernah mengalami 'pemotongan' beberapa hari pada zaman Paus Gregorius. Duniapun kalang kabut. Bayangkan saja jika Anda berjanji untuk rapat antar pemegang saham pada, misalnya 12 Februari, dan tiba-tiba intruksi 'suci' dari Vatikan menghapus hal tersebut, dan tahu-tahu esok hari sudah 27 Februari.

Orang Cina tidak begitu beruntung dengan penanggalannya, tapi kalender mereka masih dipegang teguh di Cina daratan maupun kepulauan. Bahkan yang sudah imigrasi ke kepulauan Indonesia pun masih sering memakainya. Coba lihat beberapa cetakan kalender di negeri kita ini. Setelah reformasi, mereka pun mendapat angin segar untuk merayakan Imlek secara lebih terbuka. Berbeda dengan kalender Masehi yang baru 2007, orang Cina sudah merayakan pergantian millennium III-nya beberapa ratus tahun lebih awal daripada pengguna kalender Masehi.

Kaum muslimin masih bisa berbangga dengan penanggalan Hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab. Kalender ini dihitung sejak hari Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah. Karena Nabi Muhammad adalah nabi yang diutus setelah Nabi Isa, wajar saja jika kalender Hijriyah lenih muda sekitar 580 tahun daripada kalender Masehi.

Berbeda dengan kalender lain yang perhitungan tiap bulannya pasti, tidak begitu dengan kalender muslim. Penentuan awal bulan dilakukan dengan melihat hilal pada akhir hari ke-29. Jika hilal terlihat, besok berarti tanggal I bulan baru. Jika tidak, besok masih merupakan hari ke-30. bahkan mendung yang menutup hilal pun bisa jadi penyebab ditetapkannya hari ke-30.

Sebagian kaum muslim berusaha 'memastikan' durasi tiap bulan dengan ilmu hisab dan falak. Tapi ini tidak bisa jadi patokan karena mnyelisihi sunnah Rasulullah. Selain itu, perhitungan dengan hisab malah menimbulkan kebinggungan kaum muslim negeri ini. Mending kita patuh kepada ulil amri yang walaupun kadang memakai hisab, tapi masih menghargai sunnah Nabi untuk kepastiannya.

Orang Jawa lain lagi, dalam masalah hitungan jumlah hari pun mereka sudah berbeda. Jika orang Nasrani masihbisa kompromi dengan kaum muslim dalam hal jumlah hari, tidak demikian dengan orang Jawa. Orang Jawa cukup beraktivitas dalam 5 hari dan tidak tujuh hari sebagaimana penanggalan lainnya. Memang aneh, tapi ini cukup bermanfaat bagi takmir masjid yang membuat jadwal khatib Jum'at di masjid-masjid pulau Jawa. Jika mereka menjadwal khatib berdasarkan Jum'at I, II, III dan IV, maka kadang-kadang khatib pada Jum'at IV bisa tidak kebagian jatah karena bulan Februari mungkin cukup tiga minggu saja. Sebaliknya, jika ada Jum'at V, pihak takmir masjid kebinggungan mencari khatib baru. Alih-alih dengan system di atas, sitem Jum'at Pon, Jum'at Wage, dan seterusnya tidak menimbulkan kekacauan di atas.

Dari empat komunitas di atas saja sudah cukup berbeda durasi tahun dan starting point tahunnya. Tak menutup kemungkinan penduduk asli Timbuktu, orang Eskimo, suku Mohican dan Indian Maya atau Aztec punya tahun sendiri-sendiri yang sangat berbeda dengan apa yang telah kita ketahui.

Sekedar Jadi Bebek

Lalu jika tahun baru bisa berbeda-beda, mengapa kita begitu hangar binger merayakan tahun baru?

Inilah hasil hegemoni barat. Dari situ tampak ketidakpercayaandiri kaum muslim untuk bangga menggunakan kalender Hijriyahnya.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa kalender Hijriyah sulit digunakan. Misalnya saja, untuk penjadwalan rapat perusahaan dan perencanaan kurikulum beberapa bulan ke depan akan sulit jika untuk bulan ini saja kita tidak tahu akan terdapat 29 hari atau 30 hari. Tapi keyantaannya, Kerajaan Arab Saudi, yang tentunya membutuhkan rapat kementrian dan penyusunan kurikulum sekolah, bisa berjalan dengan penanggalan berdasarkan Sunnah Nabi. Mungkin kita perlu membuka hubungan lebih dalam ke Negara-negara muslim daripada membebek ke negara kuffar.

Kalau pun alas an penggunaan kalender Masehi demi kemudahan bisa dibenarkan, toh kita bisa mengatasi penggunaannya sekedar untuk alasan-alasan di atas. Dan itu berarti, tak perlu merayakannya dengan hingar bingar.

Ikut merayakan tahun baru Masehi hanya akan menambah daftar masalah kita di akhirat nanti. Pertama, hal tersebut berarti tasyabbuh, meiru-niru kaum kafir, sedangkan kita dilarang dengan keras oleh Rasulullah terhadap hal itu. Sabda beliau, "Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut." (HR. Abu Dawud)

Kebanyakan perayaan tahun baru juga merupakan hura-hura. Alangkah baiknya jika harta yang dihamburkan hanya untuk kesenangan itu digunakan untuk membantu orang yang tak punya sehingga bisa jadi tabungan kita di akhirat nanti. Lebih-lebih lagi, orang yang mubadzir sudah dinyatakan Allah sebagai saudara setan, "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya."(Al-Isra':27)

Ritual Kontemplasi

Sebagian aktivis muslim menanggapi tahun baru Masehi dengan acara yang menurut mereka lebih sejuk. Yaitu dengan menggelar muhasabah tahunan pada malam tahun baru. Rame-rame mereka merenungi apa yang telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yang musti direncanakan tahun depan.

Boleh-boleh saja kita melakukan muhasabah, bahkan hal itu dianjurkan. Umar bin Khattab pernah berkata, "Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung." Walaupun konteks muhasabah dianjurkan untuk menghisab persiapan di akhirat, tak mengapalah muhasabah dilakukan untuk melihat amalan setahun lalu. Toh, hakikatnya tetaplah menghitung amalan untuk bekal ke akhirat nanti.

Walaupun muhasabah dianjurkan, kegitan berbentuk seperti di atas perlu dikritisi. Karena mnegkhususkan dan merutinkan muhasabah setiap pergantian tahun Masehi dengan rame-rame memerlukan dalil khusus. Jangan-jangan perbuatan ini merupakan amalan baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah. Jelas bukan kebaikan jika maksiat dilawan dengan bid'ah.

Yang terbaik adalah yang melakukan muhasabah setiap waktu, setiap ia merasa telah melakukan kesalahan sekecil apapun dan setiap kali ia telah selesai melakukan amal kebajikan. Tak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara muhasabah tahunan.

Setiap Hari adalah 'Tahun Baru'

Jika masalahnya 'hanya sekedar' muhasabah, ingat pentingnya waktu, sejak dulu Islam seudah memperingatkan hal itu. Allah sendiri bersumpah dengan waktu, dan jika Allah bersumpah dengan sesuatu berarti sesuatu tersebut mempunyai nilai yang sangat penting. Orang Arab sendiri berkata, "Waktu adalah pedang." Artinya jika kita tidak hati-hati menggunakan waktu, kita sendiri yang akan binasa.

Hal ini karena karakteristik waktu itu sendiri. Yang pertam adalah cepat berlalu, sehingga seakan kita baru beraktivitas sebentar di pagi hari, ternyata kita sudah menemui sore hari. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Allah dlam firman-Nya yang artinya, "Pada hari mereka melihat hari berbagkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja seperti di suatu waktu) di waktu sore atau pagi hari." (An-Naziat:46)

Kedua, waktu mustahil kembali. Sebagaimana kata Hasan Al basri, "Tiada hari tanpa menyeru, "Hai, anak Adam, aku adalah mahluk baru, dan aku menjadi saksi terhadap amalmu. Maka berbekallah denganku, sebab jika aku sudah lewat, tak mungkin bisa kembali sampai hari kiamat."

Ketiga, waktu itulah kehidupan yang sebenarnya. Masih kata Hasan Al-Basri, "Hai anak Adam, sesungguhnya hidup kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hari milikmu itu pergi, berarti pergilah sebagian darimu."

Tidak ragu lagi, setiap hari adalah modal keselamatan setiap anak manusia. Tak bijak jika dilewatkan dengan hura-hura. Kata lainnya, setiap hari harus dipersiapkan dengan baik. Setiap hari butuh semangat baru untuk hidup barau yang lebih baik. Setiap hari yang berlalu harus dihisab setiap hari. Untuk kemudian memperbaiki kesalahan hari ini agar hari esok lebih baik. Tak perlu menunggu tahun baru.

Sumber : Majalah Nikah edisi 10/I/2002, hal. 20-22

Tidak ada komentar: