Siapa pun orangnya boleh-boleh saja mengisi hidup dengan kegembiraan. Namun sebagai muslim, kita harus menggunakan ajaran syariat seutuh-utuhnya, kapan dan di mana saja. Ketika tertimpa musibah, waktu beribadah, selagi beraktivitas, termasuk juga pada saat bergembira ria. Waktu dan tempat juga harus menjadi pertimbangan. Selain itu, cara dan keyakinan yang ikut terlibat dalam amalan, harus menjadi unsur paling penting. Saat paling monumental bagi seorang muslim untuk bergembira-ria adalah pada hari raya 'Idul Adha dan 'Idul Fitri. Namun ternyata masih seabrek lagi hari-hari lain yang juga diperingati oleh sebagian kaum muslimin. Bagaimana hukumnya?
Menjaga Sikap Bijak dalam Tertawa dan Bergembira
Bergembira dan tertawa, boleh-boleh saja. Rasulullah sendiri juga suka bergembira dan bercanda dengan para sahabatnya. Dari Anas, diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang dating menemui Nabi. Orang itu meminta, "Wahai Rasulullah, bawalah aku berjalan-jalan. "Beliau Menjawab, "Kami bisa membawamu berjalan-jalan, tetapi dengan menaiki anak unta saja." Lelaki itu bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan dengan anak unta itu?" beliau berkata, "Bukankah setiap anak unta itu anak dari ibunya?" (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dari Shuhaib diriwayatkan bahwa berkata, "Aku pernah bertemu dengan Nabi. Ketika itu di depan beliau ada roti dan kurma. Beliau menawarkan. "Mendekatlah dan makanlah!" Aku pun mulai memakan kurma tersebut. Tiba-tiba Nabi berkata, "Mengapa kamu memakan kurma, bukankah kamu sakit mata? " Aku menjawab, "Ya. Tetapi aku memakannya dengan mata yang sebelahnya." Beliaupun tersenyum. (HR. Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa ia menceritakan, "Orang-orang pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Anda juga mengajak kami bercanda?' Belai menjawab, "Betul, namun namun aku hanya mengatakan sesuatu apa adanya (tanpa berdusta)." (HR. Tirmidzi)
Muhammad bin An-Nu'man bin Abdussalam diriwayatkan bahwa ia bercerita, "Aku belum pernah melihat orang yang lebih kuat ibadahnya dari Yahya bin Hammad. Menurut dugaan saya, beliau belum pernah tertawa."
Dalam hal itu, Adz-Dzahabi berkomentar, "Tertawa ringan dengan sedikit senyum itu lebih utama. Diriwayatkan bahwa sebagian ulama tidak pernah tertawa, itu bisa dibagi ada dua kemungkinan bagian:
Yang Pertama: akan menjadi keutamaan, jika dia meninggalkannya demi menjaga adab dan rasa takut kepada Allah, juga karena merasa kasihan terhadap dirinya sendiri yang miskin amal."
Yang Kedua: menjadi tercela, bila ia melakukannya karena kejahilan, angkuh dan dibuat-buat. Orang yang terlalu banyak tertawa akan diremehkan orang. Hanya saja, tertawa bagi anak muda lebih ringan konsekuensinya dan lebih bisa dimaklumi dibandingkan bila dilakukan orang yang sudah berumur. Adapun tersenyum dan berwajah cerah, hukumnya lebih baik dari semuanya, daripada tidak pernah tertawa atau terlalu banyak tertawa. Karena Nabi bersabda, "Senyummu di hadapan temanmu adalah shadaqah. " (HR. Bukhari dan Muslim).
Jarir menuturkan' "Setiap kali Rasulullah melihatku, beliau pasti tersenyum." (HR. Bukhari dan Muslim)
Tapi ingat, seorang muslim dilarang membuat cerita bohong alias membual, meskipun untuk membuat orang lain tertawa.
Dari Muawiyyah bin Bahaz diriwaytkan bahwa ia bertutur, "Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda yang artinya:
"Naar (neraka) Wail bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk melucu (membuat orang tertawa), Naar Wail bagi mereka dan Naar Wail bagi mereka." (HR. Abu Dawud)
Islam menuntunkan agar seseorang senantiasa membuat orang lain merasa senang. Rasulullah bersabda yang artinya, "Kamu tidak akan dapat menyenangkan seseorang dengan harta bendamu, tapi kamu bisa menyenangkan mereka dengan wajahmu yang cerah." (HR. Al-Hakim dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah)
Jadi kesimpulannya, Islam membolehkan kita bersenang-senang dan tertawa, asal tidak keterlaluan, atau membuat hal-hal yang dilarang. Lalu bagaimana jika bergembira ria dengan orang-orang kafir? Terutama dalam hari raya dan acara-acara yang mereka buat? Bagaimana pula dengan hari raya adapt dan kebangsaan? Simak pembahasan berikut.
Beberapa Jenis Larangan "Berserikat" dengan Orang Kafir
1.. Berpakaian Ala orang Kafir saja Dilarang. Apalagi Mengambil Keyakinan Mereka
Karena berpakaian adalah symbol. Symbol keyakinan, budaya, kebebasan berfikir, bahkan symbol kekafiran dan kemaksiatan. Tidak percaya? Lihat saja kaos-kaos yang di jual pasaran sekarang. Banyak slogan-slogan, ucapan-ucapan, dan pantun yang tidak beres. Sering menjurus kepada maksiat, bahkan juga kekafiran.
Karena itu, dalam hadist Ibnu Umar disebutkan Rasulullah bersabda, yang artinya: "Apabila seorang diantaramu memiliki dua potong pakaian, hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya. Namun kalu ia hanya memiliki satu potong (baru saja misalnya), hendaknya digunakan untuk bersarung. Namun jangan menyelimuti seluruh tubuhnya (termasuk tangan) sebagaimana yang dilakukan orang-orang Yahudi." (HR. Abu Dawud dan yang lainnya dengan sanad yang shahih). Sesungguhnya pelarangan yang terdapat dalam hadits tersebut dikarenakan penyerupaan terhadap orang Yahudi.
Allah juga berfirman yang artinya, "Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah tulah petunjuk (yang sebenarnya)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah : 120).
Ahli kitab tidaklah terlalu menuntut agar kita keluar dari agama Islam. Target yang ingin mereka capai adalah kita mengikuti millah mereka. Jika kita sudah meniru gaya hidup mereka, seoerti cara berpakaian, cara makan, dan yang lainnya, itu sudah cukup bagi mereka.
2.. Larangan Mengangkat Pegawai dari Orang Kafir Untuk Menangani Urusan Khusus Kaum Muslimin
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Musa Al-Asy'ari, bahwa ia bercerita, "Aku pernah berkata kepada Umar bin Khatthab, "Saya mempunyai seorang juru tulis beragama Nasrani." Maka beliau menanggapi, "untuk apa, tidakkah kamu mendengar firman Allah, "Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pelindung-pelindung (wali-wali) diantara kalian, sebagian di antaranya menjadi pelindung sebagian yang lain.." Tidakkah engkau ingin agamamu menjadi lurus?" Ia menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, aku hanya megambil kepandaian menulisnya, sedangkan urusan agamanya adalah urusannya sendiri." Umar menanggapi, "Tidak bisa, saya tak akan memuliakan mereka setelah Allah menghinakan mereka. Saya tak akan mengangkat harkat mereka, karena Allah telah merendahkan mereka, saya juga tak akan mendekati mereka, karena Allah telah menjauhi mereka."
Hal itu juga didasari oleh petunjuk Al-Kitab, dan dijelaskan oleh riwayat Sunnah Nabi dan sunnah para Al-Khulafa Ar-Rasyidin, yang telah disepakati oleh alim ulama fiqih. Yaitu untuk membedakan diri dengan mereka (orang-orang kafir) danmenghindari penyerupaan diri dengan mereka.
Namun demikian, boleh-boleh saja mempekerjakan orang-orang kafir, dalam posisi yang tidak penting, tentunya dengan ektra hati-hati. Misalnya sebagai pekerja kasar, tukang kebun, dan sebagainya. Karena sebagian dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin diriwayatkan pernah melakukan hal itu.
3.. Menjual Sesuatu yang Digunakan pada Hari Raya Mereka
Benda-benda yang digunakan oleh orang kafir untuk merayakan hari raya mereka bias terbagi menjadi dua kelompok, yaitu benda-benda kebutuhan sehari-hari namun khusus digunakan untuk merayakan hari raya mereka, dan benda-benda yang memang sudah khusus menjadi bagian dari agama atau hari raya mereka.
Pada dasarnya, benda-benda kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, minuman, dan pakaian tidak diharamkan untuk dijual kepada orang kafir. Namun, pengertian 'Id' atau hari raya adalah ungkapan untuk segala aktivitas ibadah dan kebiasaan yang dilakukan di hari tersebut. Karena itu, jika kaidah Imam Ahmad dalam persoalan-persoalan ini diterapkan, maka jelas bahwa menjual kepada mereka segala sesuatu yang dapat mendukung berlangsungnya hari raya mereka adalah haram. Seperti menjual barang-barang rumah tangga, pakaian, makanan dan minuman.
Bahkan keharamannya bisa lebih dari yang kita kira. Karena kemungkinan penggunaan barang sehari-hari tersebut lebih besar daripada kemungkinan penggunaan khamr. Barang-barang tersebut dapat mereka pakai untuk melakukan kebiasaan sehari-hari namun khusus untuk hari raya tersebut.
Hanya saja terdapat perselisihan pendapat mengenai hokum pelarangan tersebut. Ada yang berpendapat mengenai hokum larangan tersebut adalah haram, seperti mahzab Imam Malik. Ada pula yang sekedar memakruhkan.
Nah, jika yang mereka beli adalah benda yang haram seperti salib, patung sesembahan, kemenyan, binatang yang disembelih untuk selain Allah, gambar mahluk hidup dan lain-lain, tidak diragukan lagi bahwa itu haram.
4.. Hukum Menerima Hadiah Orang-orang Kafir di Hari Raya Mereka
Adapun berkenaan dengan hokum menerima hadiah dari mereka di hari raya mereka, kita kemukakan di sini riwayat dari Ali Radhiyallahu 'anhu bahwa beliau pernah diberikan hadiah Nairuuz dan beliau terima.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf bahwa Qaabus meriwayatkan dari ayahnya, "Ada seorang wanita yang bertanya kepada Aisyah, "Kami memiliki beberapa teman dari Majusi. Suatu hari datang waktu hari raya mereka. Mereka pun memberi kami hadiah. (Bagaimana dengan hal ini?)" Aisyah menjawab, "Adapun bila hadiah itu binatang yang mereka sembelih untuk hari itu, jangan dimakan. Namun silakan makan yang mereka berikan dari hasil kebun mereka."
Ibnu Abi Syaibah juga menyatakan, "Waki' telah menceritakan kepada kami, dari Al-Hakam bin Hukaim, dari ibunya, dari Abu Barzah bahwa beliau memiliki teman-teman dari penduduk Majusi. Di hari raya festival dan Nairuuz, mereka biasa memberikan hadiah. Maka beliau mengatakan kepada keluarganya, "Kalau berupa buah, maka saja. Tapi kalau selain itu, jangan diterima."
Semua riwayat itu menunjukkan bahwa menerima hadiah tersebut sama saja di hari raya atau di hari lain. Bila mendukung kemaksiatan, atau kekufuran, atau hari raya mereka maka hal itu dilarang, kalau tidak, dibolehkan menerimanya.
Larangan Membuat Hari Raya atau Menghadiri Hari Raya selain 'Idul Adha dan 'Idul Fitri
Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, "Ketika Rasulullah tiba di Madinah, mereka (orang-orang Madinah) telah memiliki dua hari yang dijadikan waktu mereka bermain-main. Beliau bertanya, "Ada apa dengan dua hari ini?" Mereka menjawab, "Di masa Jahiliyyah, kami biasa bermain-main di dua hari itu." Maka Rasulullah menanggapi, "Sesungguhnya allah telah menggantikan buat kalian (hari raya) yang lebih baik dari itu, yaitu hari 'Idul Fitri dan 'Idul Adha." (HR. Abu Dawud)
Yang perlu diperhatikan, dua hari raya Jahiliyyah itu tidak mendapat pengabsahan dari Rasulullah. Bahkan beliau tidak membiarkan mereka bermain-main di kedua hari itu mengikuti kebiasaan. Namun beliau menyatakan bahwa Allah telah menggantikan keduanya dengan dua hari lain yang lebih baik. Menggantikan sesuatu dengan sesuatu yang lain, berarti meninggalkan sesuatu yang sudah diganti. Karena antara pengganti dan yang diganti tak mungkin bersatu. Oleh sabab itu, ungkapan mengganti hanya digunakan untuk sesuatu yang tak mungkin digabungkan, alias yang diganti harus ditinggalkan. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, "Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripadaKu, sedang mereka adalah musuhmu amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim."(Al-Kahfi : 50)
Kedua hari dalam masa Jahiliyyah itu sudah ditinggalkan dalam ajaran Islam. Keduanya tak lagi berbekas di masa kehidupan Rasulullah, juga pada masa Al-Khulafaur Rasyidin. Kalaulah mereka tidak dilarang untuk bermain-main (merayakan) pada kedua hari itu oleh Rasulullah dengan larangan yang keras, mereka akan tetap melakukan kebiasaan tersebut sebagaimana biasa. Karena tabiat banyak orang adalah cenderung mendambakan satu hari yang mereka jadikan saat berlibur dan bermain-main. Larangan keras beliau menunjukkan bahwa hal itu -hari raya Jahiliyyah itu- adalah haram. Budaya dan kebiasaan itu hanya dapat dirubah oleh sesuatu yang memberangusnya.
Diriwayatkan oleh abu Dawud, "Syu'aib bin Ishaq telah berbicara kepada kami, dari Al-Auzaa'i, Yahya bin Katsir telah berbicara kepada kami, Abu Kilaabah telah berbicara kepada kami, beliau berkata, "Seseorang lelaki di masa hidup Rasulullah pernah bernadzar untuk menyembelih seekor unta di Buwaanah. Maka Rasulullah bertanya, "Apakah di sana ada salah satu berhala Jahiliyyah?" Mereka menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi, "Apakah ada hari raya Jahiliyyah yang dirayakan disana?" Mereka menjawab, "Tidak". Maka beliau bersabda, "Laksanakan nadzarmu. Sesungguhnya tidak dibolehkan melaksanakan nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah. Atau dalam hal yang di luar kemampuan anak manusia."
Menyembelih hewan adalah boleh-boleh saja jika untuk dimakan atau untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya Idul Adha. Namun jika penyembelihan tersebut dilakukan di tempat yang biasa dipakai oleh orang kafir untuk beribadah maka hal itu dilarang karena dapat memberikan kesan pembenaran terhadap ibadah orang kafir di tempat tersebut. Begitu juga, penyembelihan tersebut dilarang pula dilakukan pada tempat di mana orang kafir merayakan hari raya mereka, karena dapat timbul pula kesan pembenaran terhadap hari raya mereka.
Hari Raya dan Isme-isme
Terkadang ada pula hari-hari besar yang tidak terkait dengan agama tertentu. Hari-hari besar itu terkait dengan suatu kelompok, golongan, atau pun negara dan bangsa. Sebab dari adanya hari besar itu pun bermacam-macam. Ada hari besar yang disebabkan lahirnya atau didirikannya suatu kelompok tertentu, ada pula yang disebabkan karena momen penting pembelaan terhadap bangsa dan negara terhadap kezhaliman penjajah, dan lain-lain.
Pada dasarnya, sekedar membela keluarga atau negeri kita dari kezhaliman orang lain, seperti perampok, penjajah dan lain-lain, itu disyariatkan. Tetapi membela keluarga, negeri, adapt atau yang lain dalam keadaan benar atau salah, menurut ungkapan "Jelek-jelek negeri sendiri", jelas haram.
Dari Suraqah bin Malik bin Ju'syum Al-Mudliji, bahwa ia berkata, "Rasulullah pernah memberi wajangan kepada kami. Beliau bersabda yang artinya, "Sebaik-baiknya kamu adalah yang membela keluarganya, selama tidak untuk berbuat dosa."(HR. Abu Dawud)
Ada satu riwayat, dinukil oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Watsilah bin Al-Asqa' Radiyallahu'anhu, bahwa ia berkata, "Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud Al-Ashabiyyah(kefanatikan)?" Beliau menjawab, "Yaitu bila kamu membela kaummu dalam berbuat zhalim."
Abu Dawud juga meriwayatkan dari Jubair bin Muth'im Radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah bersabda, "Bukan termasuk golongan kita orang yang mendakwahkan kefanatikan. Bukan golongan kita orang yang berperang demi kefanatikan. Dan bukan golongan kita orang yang mati membela kefanatikan."
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa yang membela kaumnya tanpa kebenaran, maka ia ibarat seekor unta yang terjerembab dan mati terseret dengan ekornya dan tak dapat melepaskan diri."
Jika menyerukan gelar-gelar yang ada pada Islam bahkan pada diri sahabat pun dilarang, seperti gelar Muhajirin dan Anshar, apalagi gelar-gelar yang benar-benar tidak ada asalnya dalam Islam. Gelar-gelar tersebut jelas hanya mengacu kepada fanatisme kelompok dan golongan.
Hari raya yang dirayakan berkaitan dengan kelompok atau golongan tertentu baik dalam lingkup kecil atau besar dapat terkena dua perkara yang menjadikan hari tersebut haram untuk dirayakan. Yang pertama adalah karena keterkaitan hari tersebut dengan fanatisme kelompok dan golongan. Yang kedua adalah terkena larangan merayakan hari raya selain 'Idul Adha dan 'Idul Fithri.
Yang bias disimpulkan adalah kita harus menghindari sebisa mungkin berbagai perayaan yang tidak diajarkan dalam Islam, apalagi yang mengandung hal-hal haram.
Sumber : Majalah El-Fata Edisi 8/I/2001 hal. 54-59
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar